Mencari Kesempurnaan?

Bukan karena kurang makan, huruf/angka “I/1” terlihat kurus.
Bukan pula karena asupan berlebih, huruf/angka “O/0” menggelembung.
Huruf/angka “I/1” mungkin tidak pernah berpikir untuk menjadi huruf/angka “O/0”, begitu pula sebaliknya.
Ketentuan dan nasiblah yang lebih menentukan keadaan keduanya.
Keadaan yang kemudian seringkali diperbandingkan bahkan dipertandingkan.

Bukankah setiap keadaan di alam ini adalah relatif?
Begitu pula halnya dengan setiap keadaan yang dilalui huruf/angka “I/1” maupun huruf/angka “O/0”.
Tak pernah bisa dipastikan bahwa keadaan salah satu dari keduanya akan selalu dipandang lebih.
Hanya upaya yang dapat memoles keadaan menjadi lebih bermanfaat.
Hanya upaya pula yang dapat mengubah nasib menjadi lebih baik.

Upaya mengubah energi yang tidur menjadi langkah yang teratur.
Upaya mengubah pandangan menjadi pegangan.
Upaya mengubah kekurangan menjadi kekuatan.
Upaya mengubah nasib kurang beruntung menjadi tersanjung.
Upaya adalah bagian dari kesempurnaan untuk mengubah keadaan.

Penipuan di atas penipuan

Masa berganti masa telah menorehkan cerita manusia yang penuh warna.
Ada zamannya tatkala kekuatan fisik kerap dipertontonkan.
Ada kalanya saat kekuatan raga didominasi kekuatan pikiran.
Ada saatnya ketika siasat pikiran mampu mempengaruhi kegamangan mental.
Sebelum tiba waktunya saat ketidaksadaran benar-benar menyelewengkan kecenderungan spiritual.
Yang menandakan permainan akhir yang sangat merugikan.

Banyak manusia yang larut dalam irama hidup yang diarahkan.
Terselubung dalam aneka bentuk kemeriahan.
Kemeriahan sesaat yang menyesatkan.
Tatkala guncangan itu menjadi kenyataan.
Sebagian besar dari mereka kalut mencari pegangan.
Tak terkecuali sebagian lainnya yang pernah punya harapan.

Ajakan demi ajakan disebarluaskan.
Demi memenuhi capaian terwujudnya kumpulan orang.
Yang menunggu uluran tangan yang dirahasiakan.
Yang menanti dengan gempita pembuka jalan kebenaran.
Yang menunjukkan kekeliruan pilihan jalan.
Yang membongkar segala bentuk kepalsuan.

Padahal, ia akan menjerat lebih banyak manusia ke dalam kesesatan.
Padahal, ia akan berusaha mengaburkan/menjerumuskan mereka dari/ke dalam kebenaran buatan.
Padahal, ia akan memasukkan mereka ke dalam perangkap penghambaan.
Padahal, ia akan manjauhkan diri mereka dari lindungan Tuhan.
Itulah sejatinya bentuk penipuan di atas penipuan.
Penipuan nyata yang tak layak untuk dipertaruhkan.

“Manusia Jejadian”

Sekelompok manusia menyatukan ide untuk menciptakan surga dunia.
Mereka mengembangkan dan mengatur cara tak kasat mata demi memenuhi hasrat yang tak berbatas.
Mereka terbiasa memanipulasi berbagai hal seolah tampak normal untuk menyembunyikan tujuan asli.
Nyaris tak ada aspek kehidupan yang tak mereka sentuh.
Yang penting tangan-tangan mereka bisa mencengkram segala sesuatu dengan penuh.

Bahkan, mereka berhasil menciptakan “manusia jejadian” yang bisa dikendalikan.
Manusia dengan kepala membesar penuh dengan rencana dan siasat licik demi keserakahan.
Badan membengkak pertanda kerakusan akan sumber daya yang dieksploitasi.
Tangan menjulur sehingga ia dapat menggapai semua hal yang ingin direngkuh.
Kaki memanjang sehingga dengan mudah dapat menjejak setiap jengkal tanah yang subur.

Demi mengekalkan eksistensinya, ia terbiasa menciptakan ancaman dan musuh imajiner.
Kekisruhan hingga peperangan ia jadikan sebagai alat penguasaan.
Hingga tibalah saat ia dijadikan sebagai satu-satunya harapan.
Ia tak akan malu untuk menunjukkan kebaikan palsu demi menutupi niat dan watak aslinya.
Seakan tak ada lagi yang lebih berharga dari sebuah pengelabuan yang tertata rapih.

Kebusukan takkan pernah bisa ditutupi meskipun ia tampil berbaju kesatria, berkalung emas, bersiram minyak wangi, bahkan berbalut sutera bermeter-meter.
Sebab sejatinya ia adalah bangkai tak bertuan, yang tak pernah merasa hidupnya aman.
Ia akan selalu diliputi berbagai kecemasan, ketakutan, serta ketidaktenangan.
Ia takkan pernah bisa mengenali hakikat hidupnya yang paling dalam.
Bahkan ia tak pernah merasa dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berakhir dengan pedih.

Penyejuk hati dengan tangan-tangan mungil, penjejak bumi dengan kulit-kulit keriput, penghuni belukar dan padang ilalang, serta pengolah hawa saling bahu membahu melantunkan do’a.
Do’a keselamatan untuk seluruh mahluk hidup ciptaanNya.
Sebuah harapan untuk terlepas dari segala bala yang diakibatkan oleh rusaknya tatanan kehidupan di muka bumi ini.
Yang pasti ruh setiap diri yang tenang akan kembali kepadaNya.
Terkecuali “manusia jejadian” dan para penciptanya.

Satu darah untuk kegelapan

‘Keinginan menguasai’ adalah cikal bakal kejahatan dan keangkaramurkaan.
Iblis ‘menaruh minat’ untuk menguasai dunia.
Qobil ‘menaruh minat’ untuk memiliki Iqlima.
Fir’aun ‘menaruh minat’ untuk menjadi ‘tuhan’ di dunia.
Namrudz ‘menaruh minat’ untuk membentuk kekuasaan tunggal.
Romawi ‘menaruh minat’ untuk menaklukkan dunia.
Knight templar ‘menaruh minat’ untuk merebut kekuasaan dan harta.
Illuminati ‘menaruh minat’ untuk menguasai pemerintahan, ekonomi, dan agama.
Elit global ‘menaruh minat’ untuk mewujudkan tata pemerintahan baru versi mereka.
Bukankah itu pertanda bahwa ada satu hal yang sangat mendasar yang mempengaruhi sikap dan perilaku mereka.
Hal demikian adalah hasrat yang berlebihan yang merupakan wujud kekuatan nafsu yang tak terkendalikan.

Ia sangat aktif hidup dalam tubuh seluruh mahluk yang bernafas.
Ia bergerak lincah demi memenuhi kegemarannya.
Ia tak kenal lelah mempengaruhi tiap bagian jasmani untuk menggapai segala yang diinginkannya.
Ia tak mau peduli bisikan ruhani untuk mencukupi kebutuhan sekedarnya.
Ia ingin mendapatkan takaran lebih, menguasai semua sumber kenikmatan, bahkan mengendalikan segala sesuatunya.
Ia tak rela berbagi dengan sebagian besar mahluk yang menyerupai dirinya.
Ia hanya berupaya untuk memenuhi hasrat dirinya dan tak mau peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Ia terjebak dalam sifat dan tabiat rendah yang menguasainya.
Ia tak mau bersusah payah untuk menyelami hakikat hidupnya.
Ia akan menjauh dari segala kebaikan hakiki dan tak pernah bisa mengenal siapa jati dirinya.
Akhirnya, ia hanya bisa menyadari bahwa ia adalah bagian dari mata rantai ‘satu darah untuk kegelapan’.

Ketika Alam Menjerit Kepada Sang Pencipta

Ketika hamparan bukit hijau tak kuasa menahan amukan perkakas berat yang bergerak meraung-raung.
Tinggalah sekumpulan mahluk termangu menatap segala kesan dan kenangan yang hampir sirna.
Ketika sungai dan parit tak kuasa menampung kumpulan peluh.
Tinggalah mata air berupaya tegar menyangga sisa-sisa kebeningan dan kesejukan tirta kehidupan.
Ketika ketenangan laut dan samudera tak kuasa mengumpulkan sampah dan tumpahan jelantah yang pekat mengeruh.
Tampaklah rona wajah para penghuni lautan yang tak lagi segar berseri sebagaimana roman muka para pencari rezeki yang kian putus asa.

Takkan tampak lagi keindahan pesona alam.
Yang kini tak lagi berderet memanjang dalam keteraturan.
Takkan bisa hewan dan tumbuhan kembali bebas berlindung dalam naungan kedamaian alam.
Yang kini terbelenggu dalam kerusakan dan ketidakseimbangan.
Takkan bisa pula manusia kembali bersahabat dengan keramahan dan kemurahan alam.
Yang kini terusik dengan segala perbuatan rakus yang tak berkesudahan.

Maka alampun kan menjerit kepada Sang Pencipta.
“Hamba ini milik Engkau ya Rabb”.
“Hamba tak kuasa lagi menahan seluruh derita”.
“Hamba tak ingin larut dalam segala kecarut marutan”.
“Hamba memohon dengan sangat kepada Engkau ya Rabb”
“Izinkanlah hamba untuk ikut mengembalikan segala keadaan”.